MATRIX-ENEMY

welcome

Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industrys standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book. It has survived not only five centuries, but also the leap into electronic typesetting, remaining essentially unchanged. It was popularised in the 1960s with the release of Letraset sheets containing Lorem Ipsum passages, and more recently with desktop publishing software like Aldus PageMaker including versions of Lorem Ipsum.

selamat kamu adalah pengunjung ke

Cerpen pertama saya.......


Kemelut di Kesunyian Gunung Lawu

Dingin, itulah yang kami rasakan pada saat itu. Padahal waktu masih menunjukan pukul 16.00 WIB, yang kami merasa masih cukup dini untuk merasakan udara dingin itu. Lawu, banyak orang ngeri mendengarnya tapi bagi kami itu adalah tantangan tersendiri terutama aku, banyak yang menentiku pulang dan mengharapkan aku untuk sampai di puncak Gunung Lawu, gunung terdingin di Pulau Jawa itu.
Sembari menunggu pemberangkatan aku dan dua orang temanku, Ari dan Budi, menikmati teh panas di warung dekat base camp dan menyantap menu makan sore, karena belum tentu nanti malam ada waktu buat makan malam, jadi kami memutuskan untuk makan pada sore itu.
“Gila dingin banget nih!” kataku memulai percakapan.
“iya nih, di bawah udah dingin gimana diatas nanti ya?” Sambung Ari.
“Makanya nanti pake jaket double, biar ga dingin”, kata Budi.
“Ya iya lah, pengen mati kedinginan apa diatas sana!” teriakku dan Ari bersama-sama.
`bulan Agustus suhunya bisa mencapai dibawah nol derajat celcius,” Sambung si penjaga.
“Gila, bisa mati beku klo kayak gini,” pikirku dalam hati.
Ari merupakan teman yang paling kelihatan lebih bersemangat daripada teman-teman yang lain dalam pendakian ini. Meskipun dia dilarang orang tuanya, dia tetap memaksa untuk ikut. “Lawu adalah impianku!” katanya dengan penuh semangat saat kami masih di rumah. Lain halnya dengan Budi. Dia mempunyai perawakan lebih kecil dari Ari, tetapi tenaganya paling kuat diantara kami.
Waktu sudah menunjukan pukul 20.00 WIB. Waktunya kami untuk memulai perjalanan menaklukkan dinginnya gunung Lawu. Kami terdiri dari 23 orang, 10 orang perempuan, 11 orang laki-laki, dan 2 orang pembina. Pembagian tugas pun dimulai. Aku mendapatkan tugas menjadi sweeper, yaitu rombongan paling belakang. Perjalanan kami diselimuti udara dingin yang semakin mencekam dan juga sepinya malam. Seumur hidupku baru kali ini aku merasakan udara sedingin ini. Biasanya, aku sering mengeluh dan bermales-malesan saat udara mulai dingin. Tapi entah tenaga dari mana, aku dapat berjalan di dinginnya malam yang mencekam itu.
“Kok sepi banget ya?” kataku.
“Iya nih, sepi banget”, kata Ari, yang juga menjadi Sweeper. Asal kalian tau, yang menjadi sweeper tidak hanya aku dan Ari, tapi masih ada 2 teman yang lain yaitu Dodi, Suci, dan 1 pembina kami, pak Nur. Beliau merupakan orang tertua dalam rombongan kami, tetapi jangan salah tenaganya masih kuat, kami pun tidak dapat menandingi beliau.
“Heh! Lihat!! Kita udah ditunggu”, kata Dodi menunjuk keatas.
“Sama siapa?” kataku terheran-heran.
“Liat itu udah ada lampu”, kata Dodi sambil tersenyum.
“Itu sih bulan,” kata Ari.
Tak terasa perjalanan kami sudah mencapai sudah mencapai pos 3. Rasa lelah, dingin dan kantuk sudah mulai terasa menyiksa. Akhirnya kami pun memutuskan untuk beristirahat dan membuat api unggun untuk menghangatkan badan. Setelah dirasa cukup kami pun melanjutkan perjalanan. Baru beberapa menit berjalan, Ari terkapar, asma nya kambuh.
“Oksigennya mana?” tanya suci pada ku, kebetulan aku yang paling dekat dengannya.
“Tadi ada di rombongan depan,” jawab Dodi.
“Sial!!,” jeritku dalam hati.
Akhirnya aku dan dodi meletakkan tas ransel dan berlari menyusul temen-teman yang ada di depan. Ternyata Budi dan kawan-kawan masih menunggu kami. Ari pun kembali pulih dan bergabung dengan dengan rombongannya budi. Karena sudah dirasa cukup beristirahat, kami pun melanjutkan perjalanan. Rombongan pun kini terbagi menjadi tiga, yaitu rombongan depan, tengah dan belakang. Aku berada di rombongan tengah, Budi, suci, Ari dan pak Nur berada di belakang. Sekitar pukul 03.00 WIB, rombongan tengah, termasuk aku, mendengar teriakan entah dari mana asalnya dan kurang jelas. Sekitar pukul 05.00 WIB, Budi memberi kabar bahwa Ari terkapar lagi dan lebih parah dari pada yang pertama. Mas Yatno, salah satu pembina kami pun lari menuju ke tempat Ari yang berada jauh dibawah kami. Atas perintahnya juga, kami melanjutkan perjalanan menuju pos 4. Sekitar 10 meter sebelum sampai pos 4, kami beristirahat, menikmati indahnya alam ciptaan Tuhan sambil menikmati menu makan pagi.
Sekitar pukul 06.30, pak Nur sampai di tempat kami. Dia menyuruh aku dan dodi membantu mas yanto, karena Ari belum juga sadar, sedangkan teman-teman yang lain bersama Budi melanjutkan perjalanan menuju puncak.
Dengan penuh kekhawatiran, aku dan dodi menuju ke tempat Ari berada. Sesampainya di tempat Ari, ternyata dia sudah sadar. Berbagai perasaan pun menyelimuti hati kami, senang, marah, sedih, kecewa,dan perasaan-perasaan yang lain. Sambil menunggu rombongan yang lain turun, kami pun membuka tas kami dan mencari bahan makanan yang tersedia. Karena ketidaksabaran kami, akhirnya kami turun duluan.
Sekitar pukul 17.00 WIB, semua rombongan sudah berkumpul di base camp. Perjalanan yang seharusnya menyenangkan dari awal sampai akhir, ternyata harus ada sekilas kisah yang menyedihkan. Banyak cerita yang kami dapatkan dalam perjalanan ini, termasuk arti dari sebuah persahabatan.
Kami memutuskan mendirikan tenda dan bermalam di base camp. Keesokan harinya, sekitar pukul 07.00 WIB, kami pulang menuju kota tercinta kami dengan membawa sejuta pengalaman yang sangat berharga. Jaga terus kelestarian bumi kita, khususnya Negara Indonesia tercinta.

0 comments:

Post a Comment

Labels